Wednesday, October 12, 2016

INFERNO

Inferno, merupakan sekuel dari The Da Vinci Code dan Angels & Demons. Sudah barang tentu mengisahkan seorang ahli simbol yang bernama Robert Langdon. Dalam Inferno kali ini, ia menjadi target dari pemburuan beberapa pihak. Didera sedikit hilang ingatan, Langdon berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Sama seperti dua buah film sebelumnya, Inferno juga mengambil tema film yang sama. Yaitu aksi dan misteri. Keseruan serta kenikmatan dari film ini bisa didapat dari bagaimana memecahkan dan menyusun puzzle atau teka-teki hingga akhirnya menjadi suatu rangkaian yang dapat memecahkan kebuntuan masalah. Puzzle dan teka-teki tersebut tentunya dihubung-hubungkan dengan sejarah maupun mitos yang ada. Hal ini yang membuat menarik dari film-film yang diadaptasi dari novel-novel miliknya Dan Brown. Karena selalu menghadirkan trivia yang setidaknya bisa menjadi pengetahuan bagi kita. Saya baru tahu istilah "karantina" itu diambil dari bahasa Italia, yakni "quarante",  yang saat itu sedang wabah kasus Black Death di Eropa. Menyaksikan Inferno, penonton dituntut untuk terus fokus dan konsentrasi dengan alur cerita yang ada. Sebab bila lengah sedikit tentunya akan kehilangan beberapa poin.

Bila dibandingkan dengan dua film pendahulunya, Inferno bagi saya lebih ramping, straight to the point, cukup intens dan menarik. Memang sih tidak se-kontroversial The Da Vinci Code, tapi sudah cukup baik bagi saya. Inferno menampilkan berbagai kejutan-kejutan. Termasuk dengan plot twist-nya yang tak diduga itu. Dari segi pemain, selain Tom Hanks, entah kenapa hanya Irrfan Khan dan Sidse Babett Knudsen saja yang mencuri perhatian. Untuk aksi terasa sekali agak berkurang, tapi masih bisa membuat fim ini greget untuk diikuti, terlebih lagi ketegangannya.

Akhir kata, Inferno sebuah film yang layak untuk disimak dan memiliki potensi besar untuk dibuat lanjutannya. Sebisa mungkin jangan membandingkan film ini dengan novelnya, karena film dan buku adalah media yang sangat berbeda. Buku mampu membuat para pembacanya untuk berfantasi sebebas-bebasnya, sedangkan dalam film fantasi tersebut hanya sebatas fantasi si pembuat film saja, selain itu keterbatasan durasi juga membuat film dan buku tidak bisa dibandingkan begitu saja. Jadi ada baiknya untuk lebih bisa menikmati film ini, sebaiknya jangan terlalu dibandingkan dengan novelnya. Fair enough?

6,5/10

Tambahan:
Ini merupakan film ketiga Tom Hanks di tahun 2016 ini setelah A Hologram for the King dan Sully.

No comments: