Sunday, December 21, 2014

PENDEKAR TONGKAT EMAS

Pendekar Tongkat Emas adalah sebuah film Indonesia yang rilis tanggal 18 Desember 2014 kemarin. Disutradarai oleh sutradara ternama Ifa Isfansyah, yang juga sempat menangani film berjudul Sang Penari (banyak menerima penghargaan dalam ajang Festival Film Indonesia 2011 lalu). Dengan diproduseri oleh dua orang sineas yang tidak asing lagi di dunia perfilman Indonesia, yaitu Mira Lesmana dan Riri Riza, dan juga didukung dengan dana yang menembus angka 25 milyar, seharusnya film yang bertema silat ini bisa berbicara banyak. Sayang, hal itu tidak terlalu terwujud. Tanggung.

Pendekar Tongkat Emas yang berdurasi hampir 2 jam pas secara cerita bisa dibilang sederhana. Tidak terdapat twist atau plot-plot emosional ataupun yang menghasilkan konflik berarti. Mengalir polos apa adanya. Alur dan frame rate-nya agak lambat. Beresiko membuat penonton merasa jenuh. Untung saja sutradaranya jeli dengan memasukkan beberapa adegan laga pada waktu-waktu tertentu agar suasana kembali "ramai".

Berbicara soal adegan laga, menurut saya sudah oke. Koreografinya cakep (khususnya di scene terakhir). Yang mengganggu mungkin adalah gerakan-gerakan dari para aktor yang masih kaku dan janggal. Bisa dimaklumi karena nama-nama seperti Eva Celia, Nicholas Saputra, Reza Rahadian dan Tara Basro bukanlah pemain film yang memiliki basic ilmu bela diri. Oh iya. Adegan laganya menggunakan "shaky cam". Saya kurang terlalu suka dengan teknik beginian. Pusing.

Di balik hal itu semua, film ini memiliki daya tarik sendiri. Yaitu bagaimana keindahan landscape pulau Sumba (Nusa Tenggara Timur) yang eksotis itu dieksploitasi dengan suksesnya melalui bidikan-bidikan kamera. Selain keindahannya, kebudayaan pulau Sumba juga turut diperkenalkan kepada para penonton. Tentunya ini bisa masuk dalam upaya mempromosikan pariwisata Indonesia yang sebetulnya masih memiliki banyak tempat indah lainnya yang belum terjamahi.

Scoring yang dikoordinir oleh Erwin Gutawa juga oke. Memadukan antara aransemen tradisional dan orkestra. Menjadikan sebuah kontribusi yang istimewa untuk filmnya.

Pendekar Tongkat Emas mungkin bisa dibilang film yang kurang greget dan seharusnya memang bisa lebih bagus lagi. Namun apa yang dilakukan oleh Mira Lesmana dan Riri Riza ini sudah cukup untuk menghidupkan kembali film-film bergenre seperti ini. Mengingat bahwa Indonesia pada dua dekade silam sempat berjaya dengan film-film silat klasiknya. Masih ingat dengan Si Buta Dari Gua Hantu? Panji Tengkorak? Jaka Sembung?

So, dilihat aja ke depannya nanti bagaimana.

6,5/10.

Saturday, December 20, 2014

THE HOBBIT: THE BATTLE OF THE FIVE ARMIES

Film The Hobbit: The Battle of the Five Armies tayang serentak di Indonesia per tanggal 17 Desember 2014 kemarin. Well, menurut saya filmnya bagus. Bisa dibilang ini merupakan seri penutup yang sempurna untuk kisah petualangan si hobbit kecil, Bilbo Baggins (Martin Freeman), dalam misinya menemani para dwarf (kurcaci) yang dikomandoi oleh Thorin Oakenshield untuk merebut kembali Erebor dari sang naga api bernama Smaug.

Tanpa perlu berlama-lama atau sekedar basa-basi lagi, begitu filmnya dimulai sang sutradara, Peter Jackson (yang sempat menangani trilogi Lord of the Rings dan King Kong itu), langsung melancarkan tensi film dengan adegan aksi yang dapat membuat penonton untuk sejenak menahan nafas. Yaitu saat Smaug yang sudah diliputi dengan amarahnya menyerang serta membakar habis Lake City sampai tak berbentuk lagi hanya dengan semburan nafas apinya. Pada nantinya Smaug dapat dikalahkan oleh aksi heroik Bard the Bowman (Luke Evans). Sangat disayangkan penampilan Smaug di film ini hanya sebentar saja.

Berhubung ini seri pamungkas, otomatis selama 2,5 jam durasi film sebagian besar diisi dengan menampilkan adegan pertempuran habis-habisan yang memanjakan penonton. Apalagi ketika lima pasukan besar mulai saling serang. Menyuguhkan scene perang dengan CGI apik dan spesial efek yang super top notch. Walaupun menurut saya scene perang dalam film ini tidak se-epik Lord of the Rings: The Two Towers (ingat dengan Battle of Haalm's Deep?) maupun Lord of the Rings: Return of the King (ingat Battle of Osgiliath?), Peter Jackson dengan jenius berhasil memberikan sinematografi laga yang memukau.

Berbeda dengan dua buah seri The Hobbit sebelumnya, yaitu An Unexpected Journey dan The Desolation of Smaug, kali ini persoalan dalam cerita justru datang dari Thorin (bukan lagi Bilbo) yang mengalami konflik dalam batinnya. Thorin digambarkan terbuai dengan bergelimangnya emas dan harta sehingga sedikit menggangu pikiran dan jiwanya. Hal ini menyebabkan terjadinya perselisihan yang tidak hanya kepada sahabat-sahabatnya, tetapi juga kepada lainnya. Seperti Bard, Gandalf (Ian McKellen) bahkan Thranduil (Lee Pace). Kredit diberikan kepada Richard Armitage (yang memerankan Thorin) karena berhasil menokohkan Thorin yang memiliki dua sisi berbeda, yaitu Thorin yag baik dan Thorin yang memiliki spektrum jahat.

Di sisi lain dari kisah pertempuran yang ada di film ini, The Battle of the Five Armies menawarkan kisah romantis antara she-elf Tauriel (diperankan oleh Evangeline Lilly) dan dwarf Kili (diperankan oleh Aidan Turner). Satu-satunya bumbu asmara yang ada dalam film ini nantinya akan berakhir pada suatu kejadian yang sungguh membuat penonton terharu atau mungkin meneteskan air mata. Tidak ketinggalan pula sosok Legolas yang luar biasa sekali kharismanya melalui akting dari seorang Orlando Bloom masih menambah daya tarik tersendiri bagi The Battle of the Five Armies.

Daya tarik lainnya yang juga menjadi scene favorit saya di film ini adalah munculnya tokoh-tokoh besar dan penting dalam kisah Lord of the Rings. Yakni saat mencoba memberikan pertolongan kepada Mithrandir alias Gandalf yang ditawan oleh Sauron. Tokoh-tokoh yang hadir tersebut antara lain adalah Lady Galadriel, Saruman the White (yang nantinya justru mengabdi pada Sauron) dan Elrond (haf-elf yang merupakan ayah dari Arwen, dimana nantinya Arwen menjadi istri dari Aragorn raja Gondor).

Saya merekomendasikan kepada kalian untuk menonton The Battle of the Five Armies dalam format 3D. Sebab akan memberikan pengalaman menonton yang "wah". Efek 3D-nya sangat terasa sekali. Seakan-akan keluar dari layar bioskop. Menonton format 3D dengan kualitas studio yang butut seperti di Palangka Raya sini saja sudah oke, apalagi bila menonton dalam studio yang kualitas serta teknologi 3D-nya lebih canggih, bahkan mampu memainkan format 3D HFR ataupun IMAX. Dijamin tak menyesal. Dapat saya katakan bahwa The Battle of the Five Armies adalah salah satu film dengan format 3D terbaik yang pernah saya tonton. Silakan buktikan sendiri bila tak percaya.

The Battle of the Five Armies yang awalnya diberi sub-judul There and Back Again ini dari segi cerita terasa biasa-biasa saja. Namun penyutradaraan dan visualnya oke banget. So, untuk film ini saya beri rating 8/10.

Semoga berkenan.

"If this is love, I don't want it. Take it away, please! Why does it hurt so much?" - Tauriel

Thursday, December 11, 2014

EXODUS: GODS AND KINGS